Minggu, 27 Oktober 2013

Benda yang ditemukan (Lagi)


Ini sudah larut malam dan aku masih bimbang.
Aku yang sudah memutuskan untuk membekukan benda ini, untuk mengawetkannya meski isinya sudah tak ada lagi (untuk investasi masa depan, haha) semenjak tergores parah (dan tak sempat ku perbaiki). Tergores paku, lalu ditancapkan. Dan benda ini tak akan pernah sama. Walau sudah beregenerasi menjadi yang baru.

Angin berhembus membunyikan desingannya, sekali lagi aku masih bimbang.
Aku sudah menyembunyikan benda ini ditumpukan paling bawah, belakang, pojok sebuah lemari pembeku. Tapi kau tetap menemukannya. Seakan belum puas merusaknya, kau melumerkannya. Apakah berusaha menggoresnya untuk kesekian kali kembali? Aku yakin iya.
Tolong, aku memohon untuk mengembalikan benda itu ke tempatnya kembali. Biarkan dia membeku kosong di lemari pembeku. Aku mohon jangan melukainya jika memang ingin melumerkannya. Isi namun jangan pernah ambil kembali isinya, perbaiki dan jangan goreskan luka lagi padanya.

Ini berawal di waktu dulu.....
Tatap mata kita bertemu. Aku sedikit iritasi padamu. Tak perlu kusebutkan mengapa, karena aku juga tak tahu alasannya. Tapi mereka mempertemukan kita. Mulailah benda itu terisi olehmu. Aku harap kamu tak akan pernah mengosongkannya. Semuanya berjalan baik-baik saja. Hingga pada waktu itu, antara dulu – dan sekarang.

Benda yang sudah terisi penuh tiba-tiba saja kau gores tanpa alasan yang jelas. Seakan belum puas, kau tancapkan paku, dan melepaskannya. Benda itu terluka, semua isinya tumpah, hampir saja dinding-dindingnya menempel satu sama lain. Untung saja aku, pemilik benda itu dengan cekatan mengawetkannya sebelum dindingnya menempel satu sama lain dan tak akan bisa diisi kembali. Ketika benda itu berubah menjadi biru karenamu, kamu memerahkan benda lain, milik orang lain.
Ternyata ini semua belum berakhir. Masih ada chapter II. Sekarang di mana aku masih belum tahu, akan kau apakan benda itu, setelah kau menemukannya.

Selasa, 11 Juni 2013

Bukan yang Terakhir, Semoga


Pagi itu kita sama-sama berangkat sekolah dengan sejuta harapan. Aku berharap agar ujian prakterkku hari ini lulus dengan mulus, dan kamu berharap agar ujianmu lulus lolos. Pagi itu aku juga mengirim pesan padamu jangan lupa berdoa untuk kelulusanmu, dan kamu juga berpesan padaku untuk hal serupa. Kita merapal doa untuk aku, kamu, kita.
Siang itu senyummu lebar sekali. Aku yang masih belum bisa tersenyum sepertimu karena ujianku belum selesai, setidaknya bisa sedikit lega akan kabar bahagiamu. Selamat, lulus, dan nilaimu dapat membuat orang tuamu tersenyum. Dari sini, aku melihatmu mencorat-coret seragam putih abu-abu. Rambut hitammu berubah menjadi warna-warni pewarna yang disemprotkan temanmu. Sekilas kita bertatap mata, saling bertelepati mengabarkan berita. Melempar senyum. Dan semuanya kembali seperti semua. Seolah tidak terjadi apa-apa dan kembali menutupinya. Aku bisa menangkap telepati itu. Kamu berpesan untuk menemuimu di tempat seperti biasa.
Sore itu setelah ujianku selesai, aku berpamitan dengan teman-temanku dan pergi menuju tempat kita menawarkan rasa rindu. Seperti biasa, kita terduduk di meja nomor tujuh, dengan sofa berwarna biru dan meja abu-abu. Kamu memulai percakapan sore itu,
“Gimana, ujian kamu?”
“Gagal. Satu kelas mengulang. Lusa. Tapi aku tidak bisa hadir”
“Lalu? Sabarkan dirimu, beliau memang seperti itu”
“Biarkan saja. Selamat ya” ucapku dengan nada bergetar. Kamu menatap kaca-kaca yang terlukis jelas di mataku.
“Bibirnya jangan digigit. Nanti berdarah” ucapmu lembut, menyunggingkan senyum.
“Tanda tangani bajuku, di bagian sini. Sedari tadi aku tempeli selotip besar, aku menyisakan ruang tanda tanganmu” lanjutmu melepas selotip bening yang sudah ternodai oleh warna-warni pewarna yang berada tepat di atas saku berlambang OSIS-mu. Tak lupa kamu menyodorkan spidol biru.
“Sudah” ucapku meremas rok seragamku.
“Kamu sudah jadi bagian dari seragamku haha” namun aku diam tak menanggapi kalimatmu kali ini. Kamu tahu.
“Strenght does matter. Not with distance” ucapmu seraya membaca pikiranku.
“UHUK!” suara segerombolan siswa-siswi angkatanmu terdengar jelas. Nampaknya kamu memang sengaja memunculkan mereka. Sudah bosan dengan bersembunyikah kamu?
Maukah kamu menjaga agar semua ini tetap rahasia?
Tentu
Bisa membungkam temanmu?
Bisa, untuk kamu.
Setidaknya itu yang ku baca dari sinar matamu. Selamat, semoga sampai tujuan.

Jumat, 26 April 2013

Cerita di Pojok Kafe

Aku menikmati musim gugur. Selalu. Musim yang selalu aku tunggu.
Hari ini musim gugur di hari ke 30, hari ke 30 pula pada pukul empat sore aku mengunjungi kafe ini dan terduduk di pojok dengan sofa berwarna hijau tosca dan meja kayu berwarna cokelat gelap. Tak lupa secangkir teh dan lasagna tersaji hangat.
Setiap hari mataku selalu menyapu keseluruhan kafe. Aku memang duduk sendiri, bukan karena statusku. Melainkan aku menikmati kesendirianku. Jangan tanya tentang crush, aku tak punya. Aku sedikit laergi dengan makhluk yang bernama cowok. Jangan pernah berpikir aku lesbian. Agamaku melarang keras.

Pelayan di sini sudah sangat hafal dengan pesananku. Bahkan ketika aku datang, aku hanya tersenyum sedikit dan mengacungkan telunjukku, sepuluh menit kemudian hidangan yang aku inginkan sudah tersedia di depan mejaku. Aku hampir hafal wajah-wajah pelanggan toko ini dan di mana tempat duduk mereka. Contohnya pemuda dengan rahang dan dagu tegas yang duduk di depanku. Sorot matanya tajam, dan mempunyai lesung di kedua pipinya. Hampir setiap hari ia berganti-ganti pasangan. Pasangan duduk, pasangan kencan. Hampir setiap dua hari sekali pula ia memutuskan hubungannya.

Serong ke kanan, tiga hari sekali kau akan selalu mendapatkan segerombolan remaja berseragam putih abu-abu yang selalu menggosipkan cinta, guru, dan cerita remaja lainnya. Rupanya mereka anak baik-baik. Sesekali aku mendengar salah satu dari mereka mengkritik habis-habisan tentang budaya menyontek yang sangat populer di kalangan remaja. Katanya, jika kecilnya saja sudah menyontek, besarnya mau jadi apa? Koruptor? Katanya juga, jika kita menyontek di masa kini dan akan membawa pengaruh pada pencarian pekerjaan kita kelak, dan kita mendapatkan posisi bagus karena nilai hasil menyontek kita, kita akan memakan uang haram. Aku juga ingat salah satu dari mereka pernah berkata, ia tak mengerti dengan siswa yang berbicara bahwa untuk apa pemerintah melarang siswa menyontek sementara mereka sibuk korupsi, Siswa itu menanggapi dengan sebuah kalimat bijak "Kalau begitu siswanya pengen jadi koruptor juga dong? Kalau bukan kita siapa lagi?". Simple, and smart.

Setiap hari kau akan melihat seorang wanita yang selalu dibukakan pintu mobil oleh kekasihnya, dan ditarikkan bangku oleh kekasihnya. Emansipasi, bullshit. If you said itu adalah how to treat girl right, you're deadly wrong. Be a gentlemen is to protect, bukan memanjakan, membentak. Sepasang kekasih itu akan memesan duduk di dekat jendela dengan kusen bundar. Sang lelaki memesan kentang goreng dengan porsi besar dan secangkir kopi, sementara sang wanita memesan teh hangat beraroma melati saja. Tipe wanita yang sangat ingin menjaga bentuk tubuh. That's suck.

Setiap hari Sabtu pukul lima sore, sang pelayan berambut panjang akan dijemput oleh kekasihnya. Melambaikan tangan pada temannya yang berambut midi. Sang teman membalas lambaiannya dengan senyum getir, rupanya sang teman juga mencintai kekasih si rambut panjang. Terlihat jelas dari sorot matanya. It won't lie.

Di samping mejaku, setiap seminggu sekali akan ada segerombol remaja wanita yang lagi-lagi talking about bullshit called romance. Like seriously, why don't they just talking about something more classy? Like politics? They will looks hotter, and sexier. That's what my type of man, said. Yang kudengar secara sering adalah salah satu dari mereka yang bernama Elle, dijodohkan teman-temannya dengan seseorang bernama Adam. Salah satu dari mereka yang gemar mengurai rmabut hitam panjangnya nampak jelas cemburu. Selalu mengalihkan pembicaraan. Ingin rasanya aku mendatangi si wanita cemburu itu dan berbisik "well. you're too pretty to be jealous" because I know how that's feels.

Jam enam, aku beranjak pulang. Menutup sebuah lembaran, kisah kafe sore ini.

Sabtu, 26 Januari 2013

Pelabuhan dan Kapal Bodoh


Saya kapal bodoh, meninggalkan sebuah pelabuhan dengan ombak tenang, pemandangan indah, dan hanya ada saya saja di dalamnya begitu saja hanya untuk berlayar dan melabuh ke pelabuhan lain yang sebenarnya saya sudah tahu bahwa pelabuhan itu akan melubangi saya dengan karang-karang tajamnya, ombak ganasnya dan juga mematahkan penyangga layar saya dengan petir-petir menyakitkannya.

Saya kapal tidak tahu diuntung, berlabuh ke pelabuhan lain tanpa sedikitpun meninggalkan jejak tanda terimakasih pada pelabuhan terindah yang pernah saya singgahi. Pantas jika ikan-ikan mencemooh saya karena meninggalkan sesuatu yang indah untuk mencelakakan diri untuk melabuh pada pelabuhan termengerikan yang semua makhluk laut hindari, ikan ganas sekalipun.

Dan kini saya ingin kembali berlabuhpada pelabuhan terindah itu, salahkah walau di sana sudah ada sebuah kapal yang berlabuh anggun?

Untukmu (sayang)


Kepada seseorang yang (dulu) dengan bebas bisa kupanggil sayang. Izinkan aku memanggilmu sayang dalam surat ini.
Maafkan aku sayang, untuk tidak bisa menjadi yang terbaik bagimu.
Siang tadi aku menelusuri koridor sekolah kita, dan menemukan banyak bayangan kita. Bayangan yang menunjukkan saat kamu menggodaku dengan berbagai tingkah konyolmu, saat kamu mengungkapkan kata-kata ajaib, saat kamu menenangkan aku, saat kamu mengantarku ke mobil yang menjemputku. Bahkan aku tahu persis bahwa kamu tidak pernah membuatku menangis, selalu berusaha keras membuatku tertawa di bawah tekanan berbagai masalah.
Kamu terlalu baik, sayang, dan sayangnya aku baru menyadari itu.
Aku merindukan sikap manismu yang dulu, senyumanmu yang tertuju untukku. Sungguh, aku meminta maaf untuk menyakitimu dengan berbagai sikapku yang tidak menghargaimu kala itu.
Kamu baik, terlalu baik untuk melakukan banyak hal kecil, indah, manis padaku kala itu. Aku tidak bisa membalasnya. Aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya, tapi kamu bersikukuh ingin mempertahankannya. Bodoh sekali aku, tetap melepasmu begitu saja hanya untuk seseorang yang sudah aku tahu akan menyakitiku kelak. Sayang, aku tahu aku melakukan hal yang salah, tapi kala itu entah mengapa aku tetap melakukannya. Sekali lagi, maafkan aku sayang. Tidak bisa mengerti rasa sayangmu dan keindahan memilikimu dengan segala kelebihan dan kekuranganmu.
Sayang, aku tahu aku salah untuk tidak bisa melupakanmu yang telah berada di pelukkan wanita lain. Tapi sayangku, aku belum bisa, atau mungkin tidak bisa merelakanmu dengan wanita itu. Bagaimana mungkin aku merelakan wanita itu membuat mulut manismu mampu berkata kasar sedangkan dulu waktu itu kamu selalu bertutur kata halus? Kamu berubah, sayang.
Sayang, aku menginginkanmu, merindukanmu, yang dulu. Sayang, salahkah apabila aku berharap agar kamu kembali pada kamu-ku yang dulu? Dan mengulang semuanya bersamaku? Semoga ini belum terlambat sayang.  Jangan berubah menjadi seseorang yang tak lagi aku kenal.
Aku (masih) mencintaimu, sayang.

Minggu, 20 Januari 2013

Lelaki yang Sama


             “Aku mencintainya”

             “Aku juga”

             “Cintaku sangat besar”

             “Cintaku juga!”

             “Kita berdua sama-sama mencintai pria yang sama dengan kadar cinta yang tidak bisa dibilang remeh”

           “Aku iya, semoga kamu juga begitu”

           “Jangan remehkan aku”, kemudian wanita pertama membetulkan letak kacamata semi kotaknya yang berwarna cokelat tua. Menghembuskan nafasnya pelan, tapi panjang. Kembali menyandarkan tubuhnya pada sofa merah maroon yang sangat menggoda untuk diduduki.

        “Tidak. Aku tidak pernah meremehkan lawanku, sebagaimanapun lawanku” jawab wanita kedua kemudian mengaduk cokelat panasnya yang tak lagi panas. Menatap rerintikan hujan di luar cafe yang berlokasi strategis namun nyaman itu.

         “Kita lawan? Kukira kita sahabat?”, dahi wanita pertama mengerut.

         “Setidaknya lawan dalam memperjuangkan cinta, di luar itu kita sahabat”

         “Tapi bukankah itu berarti, jika salah satu dari kita menang, salah satu dari kita juga akan terluka? Sahabat tidak akan saling melukai, bukan?” tanya wanita pertama dengan nada khawatir.

        "Kita sudah dewasa, harus membuka pikiran kita seluas mungkin. Sedalam apapun, sebesar apapun cinta kita pada pria itu, kita juga harus siap kehilangan”

         “Kamu benar. Tapi menurutku cintaku lebih besar terhadapnya, aku jatuh cinta padanya lebih dulu daripada kamu”

                “Cinta tidak memandang cinta siapa yang lebih besar atau siapa yang mencintai lebih dulu, yang aku tahu cinta memihak pada yang berjuang, pada yang menyatakan”, kata wnaita kedua sambil mengetuk-ngetuk meja di depannya dengan jemari lentiknya.

              “Tapi aku sudah menceritakan perasaanku pada banyak orang, kamu belum”

             “Perasaan sayang tidak harus disebar-sebarkan ke banyak orang, apalagi dipamer-pamerkan. Cukup direalisasikan secukupnya”

                “Kamu benar” wanita pertama itu melunak, mengakui.

                “Semoga”

                “Kamu mau berjuang?”

                “Tentu. Ayo pulang, sudah larut malam”

                “Ayo”

           Dan kedua wanita itu berjalan berdampingan menuju pintu keluar. Dengan hati yang sama-sama berusaha memperjuangkan lelaki yang sama, dan persahabatan yang harus tetap terjaga.

Senin, 14 Januari 2013

Hai, Kamu.


Hai, sudah larut malam. Kamu sudah tidur?
Aku belum.
Aku masih berbaring menatap langit-langit kamarku yang berwarna putih pucat dan terkena semburan warna kuning lampu tidurku.
Jika kamu bertanya mengapa, aku dengan senang hati menceritakan bahwa aku sedang merapal berbagai doa, dalam hati.
Doa tentang malaikat-malaikat di sekitarku, ayah dan ibuku, doa untuk kawan-kawanku, tak lupa doa untuk kita, aku-dan-kamu-perasaanku-perasaanmu.
Merapal doa untuk masa depan kita, untuk mempersatukan perasaan kita.
Aku juga berbisik pada Tuhan, seandainya waktu bisa diulang, aku tidak mau dipertemukan denganmu. Tidak pernah berharap. Tapi aku tahu, Tuhan yang memilihku-kamu-dan perasaanku.

Hai, angin bertiup semakin keras saja. Cukup untuk membuat gigi-gigiku mengeletuk pelan di balik jaket dan selimut tebalku. Aku berharap, semoga kamu sudah berselimut dengan nyaman sehingga dingin tidak mengusik tubuhmu dan tidurmu, aamiin.
Jangan seperti aku, aku belum.
Dingin masih menguasai tubuhku, juga bongkahan-bongkahan perasaanku. Menunggumu untuk mencairkannya dengan perhatian-perhatian dan keisengan kecilmu, dulu.
Aku memejamkan mata, kembali merapal doa, berharap segera menemukan seseorang yang akan menghangatkan, mencairkan perasaanku. Bukan malah membiarkannya membeku, perih, seperti apa yang kamu lakukan saat ini (setelah pernah mencairkannya, tentunya).
Kadang aku tidak mengerti, mengapa langit harus biru, kuku tetap tumbuh. Setidaknya aku mengerti, jika perasaan terus dibiarkan membeku, semuanya hambar membiru, lalu berubah menjadi abu-abu.

Hai, peri-peri bersayap putih dengan tongkat emas dan bentuk bulan diujungnya sudah mulai sibuk mengirimkan mimpi-mimpi indah bagi manusia-manusia yang berbuat kebaikan hari ini. Aku yakin kamu sudah menerimanya dengan perbuatan baikmu hari ini, membuatku salah tingkah dengan ketidak-sengajaan saat mata kita beradu, dan perbuatan baikmu saat membuatnya tersenyum. Walau aku tidak tersenyum, setidaknya membuat dia tersenyum(walau aku tidak menyukai hal ini) tetap saja sebuah kebaikan, bukan?
Aku? Terlelap saha dewa pemimpin orkestra tembang pengantar tidur belum memulai orkestranya. Menunggu aku berhubungan dengan Tuhan dengan sabar, tidak ingin menggangguku merapal banyak doa.
Doa untuk kebaikan keluargaku, teman-temanku, kebaikanku dan kebaikanmu. Tapi tidak munafik, aku juga merapal doa di hati kecilku, untuk menyatukanku-dengan-mu;kita.
Tidak mudah, memberhentikan semua doa yang terus melayang. Khayalan yang terus terlukiskan tentang kita yang (mungkin) akan menyatu di suatu saat nanti (aamiin).
Tidak mudah, melawan perasaan sendiri yang sejatinya tumbuh liar di dalam hati. Sama saja membunuh diri sendiri dengan gaya lemah lembut bak putri keraton Jawa.
Hai, aku sudah mulai menguap berkali-kali, dengan mata yang berkaca-kaca sedikit demi sedikit terpejam. Nampaknya dewa pemimpin orkestra tembang pengantar tidur mulai kehilangan kesabarannya menungguku yang sedang mendoakan seseorang yang bahkan mendinginkan perasaanku dan membiarkannya terlantar begitu saja. Tapi dengan sisa kesadaran yang semakin menipis, aku tetap membisikkan cerita-cerita tentang kamu, pada Tuhan.
Terlalu banyak wanita disekitarnya dan aku sudah mulai lelah berjuang. Aku lelah dan jengah melihat wanita-wanita disekitarnya. Aku benci mengetahui aku dan dia yang tidak bersama. Aku berharap dia pergi, menghilang, dan juga tidak menyisakan sedikitpun goresan di kepingan-kepingan perasaan ini.

Followers