Sabtu, 26 Januari 2013

Pelabuhan dan Kapal Bodoh


Saya kapal bodoh, meninggalkan sebuah pelabuhan dengan ombak tenang, pemandangan indah, dan hanya ada saya saja di dalamnya begitu saja hanya untuk berlayar dan melabuh ke pelabuhan lain yang sebenarnya saya sudah tahu bahwa pelabuhan itu akan melubangi saya dengan karang-karang tajamnya, ombak ganasnya dan juga mematahkan penyangga layar saya dengan petir-petir menyakitkannya.

Saya kapal tidak tahu diuntung, berlabuh ke pelabuhan lain tanpa sedikitpun meninggalkan jejak tanda terimakasih pada pelabuhan terindah yang pernah saya singgahi. Pantas jika ikan-ikan mencemooh saya karena meninggalkan sesuatu yang indah untuk mencelakakan diri untuk melabuh pada pelabuhan termengerikan yang semua makhluk laut hindari, ikan ganas sekalipun.

Dan kini saya ingin kembali berlabuhpada pelabuhan terindah itu, salahkah walau di sana sudah ada sebuah kapal yang berlabuh anggun?

Untukmu (sayang)


Kepada seseorang yang (dulu) dengan bebas bisa kupanggil sayang. Izinkan aku memanggilmu sayang dalam surat ini.
Maafkan aku sayang, untuk tidak bisa menjadi yang terbaik bagimu.
Siang tadi aku menelusuri koridor sekolah kita, dan menemukan banyak bayangan kita. Bayangan yang menunjukkan saat kamu menggodaku dengan berbagai tingkah konyolmu, saat kamu mengungkapkan kata-kata ajaib, saat kamu menenangkan aku, saat kamu mengantarku ke mobil yang menjemputku. Bahkan aku tahu persis bahwa kamu tidak pernah membuatku menangis, selalu berusaha keras membuatku tertawa di bawah tekanan berbagai masalah.
Kamu terlalu baik, sayang, dan sayangnya aku baru menyadari itu.
Aku merindukan sikap manismu yang dulu, senyumanmu yang tertuju untukku. Sungguh, aku meminta maaf untuk menyakitimu dengan berbagai sikapku yang tidak menghargaimu kala itu.
Kamu baik, terlalu baik untuk melakukan banyak hal kecil, indah, manis padaku kala itu. Aku tidak bisa membalasnya. Aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya, tapi kamu bersikukuh ingin mempertahankannya. Bodoh sekali aku, tetap melepasmu begitu saja hanya untuk seseorang yang sudah aku tahu akan menyakitiku kelak. Sayang, aku tahu aku melakukan hal yang salah, tapi kala itu entah mengapa aku tetap melakukannya. Sekali lagi, maafkan aku sayang. Tidak bisa mengerti rasa sayangmu dan keindahan memilikimu dengan segala kelebihan dan kekuranganmu.
Sayang, aku tahu aku salah untuk tidak bisa melupakanmu yang telah berada di pelukkan wanita lain. Tapi sayangku, aku belum bisa, atau mungkin tidak bisa merelakanmu dengan wanita itu. Bagaimana mungkin aku merelakan wanita itu membuat mulut manismu mampu berkata kasar sedangkan dulu waktu itu kamu selalu bertutur kata halus? Kamu berubah, sayang.
Sayang, aku menginginkanmu, merindukanmu, yang dulu. Sayang, salahkah apabila aku berharap agar kamu kembali pada kamu-ku yang dulu? Dan mengulang semuanya bersamaku? Semoga ini belum terlambat sayang.  Jangan berubah menjadi seseorang yang tak lagi aku kenal.
Aku (masih) mencintaimu, sayang.

Minggu, 20 Januari 2013

Lelaki yang Sama


             “Aku mencintainya”

             “Aku juga”

             “Cintaku sangat besar”

             “Cintaku juga!”

             “Kita berdua sama-sama mencintai pria yang sama dengan kadar cinta yang tidak bisa dibilang remeh”

           “Aku iya, semoga kamu juga begitu”

           “Jangan remehkan aku”, kemudian wanita pertama membetulkan letak kacamata semi kotaknya yang berwarna cokelat tua. Menghembuskan nafasnya pelan, tapi panjang. Kembali menyandarkan tubuhnya pada sofa merah maroon yang sangat menggoda untuk diduduki.

        “Tidak. Aku tidak pernah meremehkan lawanku, sebagaimanapun lawanku” jawab wanita kedua kemudian mengaduk cokelat panasnya yang tak lagi panas. Menatap rerintikan hujan di luar cafe yang berlokasi strategis namun nyaman itu.

         “Kita lawan? Kukira kita sahabat?”, dahi wanita pertama mengerut.

         “Setidaknya lawan dalam memperjuangkan cinta, di luar itu kita sahabat”

         “Tapi bukankah itu berarti, jika salah satu dari kita menang, salah satu dari kita juga akan terluka? Sahabat tidak akan saling melukai, bukan?” tanya wanita pertama dengan nada khawatir.

        "Kita sudah dewasa, harus membuka pikiran kita seluas mungkin. Sedalam apapun, sebesar apapun cinta kita pada pria itu, kita juga harus siap kehilangan”

         “Kamu benar. Tapi menurutku cintaku lebih besar terhadapnya, aku jatuh cinta padanya lebih dulu daripada kamu”

                “Cinta tidak memandang cinta siapa yang lebih besar atau siapa yang mencintai lebih dulu, yang aku tahu cinta memihak pada yang berjuang, pada yang menyatakan”, kata wnaita kedua sambil mengetuk-ngetuk meja di depannya dengan jemari lentiknya.

              “Tapi aku sudah menceritakan perasaanku pada banyak orang, kamu belum”

             “Perasaan sayang tidak harus disebar-sebarkan ke banyak orang, apalagi dipamer-pamerkan. Cukup direalisasikan secukupnya”

                “Kamu benar” wanita pertama itu melunak, mengakui.

                “Semoga”

                “Kamu mau berjuang?”

                “Tentu. Ayo pulang, sudah larut malam”

                “Ayo”

           Dan kedua wanita itu berjalan berdampingan menuju pintu keluar. Dengan hati yang sama-sama berusaha memperjuangkan lelaki yang sama, dan persahabatan yang harus tetap terjaga.

Senin, 14 Januari 2013

Hai, Kamu.


Hai, sudah larut malam. Kamu sudah tidur?
Aku belum.
Aku masih berbaring menatap langit-langit kamarku yang berwarna putih pucat dan terkena semburan warna kuning lampu tidurku.
Jika kamu bertanya mengapa, aku dengan senang hati menceritakan bahwa aku sedang merapal berbagai doa, dalam hati.
Doa tentang malaikat-malaikat di sekitarku, ayah dan ibuku, doa untuk kawan-kawanku, tak lupa doa untuk kita, aku-dan-kamu-perasaanku-perasaanmu.
Merapal doa untuk masa depan kita, untuk mempersatukan perasaan kita.
Aku juga berbisik pada Tuhan, seandainya waktu bisa diulang, aku tidak mau dipertemukan denganmu. Tidak pernah berharap. Tapi aku tahu, Tuhan yang memilihku-kamu-dan perasaanku.

Hai, angin bertiup semakin keras saja. Cukup untuk membuat gigi-gigiku mengeletuk pelan di balik jaket dan selimut tebalku. Aku berharap, semoga kamu sudah berselimut dengan nyaman sehingga dingin tidak mengusik tubuhmu dan tidurmu, aamiin.
Jangan seperti aku, aku belum.
Dingin masih menguasai tubuhku, juga bongkahan-bongkahan perasaanku. Menunggumu untuk mencairkannya dengan perhatian-perhatian dan keisengan kecilmu, dulu.
Aku memejamkan mata, kembali merapal doa, berharap segera menemukan seseorang yang akan menghangatkan, mencairkan perasaanku. Bukan malah membiarkannya membeku, perih, seperti apa yang kamu lakukan saat ini (setelah pernah mencairkannya, tentunya).
Kadang aku tidak mengerti, mengapa langit harus biru, kuku tetap tumbuh. Setidaknya aku mengerti, jika perasaan terus dibiarkan membeku, semuanya hambar membiru, lalu berubah menjadi abu-abu.

Hai, peri-peri bersayap putih dengan tongkat emas dan bentuk bulan diujungnya sudah mulai sibuk mengirimkan mimpi-mimpi indah bagi manusia-manusia yang berbuat kebaikan hari ini. Aku yakin kamu sudah menerimanya dengan perbuatan baikmu hari ini, membuatku salah tingkah dengan ketidak-sengajaan saat mata kita beradu, dan perbuatan baikmu saat membuatnya tersenyum. Walau aku tidak tersenyum, setidaknya membuat dia tersenyum(walau aku tidak menyukai hal ini) tetap saja sebuah kebaikan, bukan?
Aku? Terlelap saha dewa pemimpin orkestra tembang pengantar tidur belum memulai orkestranya. Menunggu aku berhubungan dengan Tuhan dengan sabar, tidak ingin menggangguku merapal banyak doa.
Doa untuk kebaikan keluargaku, teman-temanku, kebaikanku dan kebaikanmu. Tapi tidak munafik, aku juga merapal doa di hati kecilku, untuk menyatukanku-dengan-mu;kita.
Tidak mudah, memberhentikan semua doa yang terus melayang. Khayalan yang terus terlukiskan tentang kita yang (mungkin) akan menyatu di suatu saat nanti (aamiin).
Tidak mudah, melawan perasaan sendiri yang sejatinya tumbuh liar di dalam hati. Sama saja membunuh diri sendiri dengan gaya lemah lembut bak putri keraton Jawa.
Hai, aku sudah mulai menguap berkali-kali, dengan mata yang berkaca-kaca sedikit demi sedikit terpejam. Nampaknya dewa pemimpin orkestra tembang pengantar tidur mulai kehilangan kesabarannya menungguku yang sedang mendoakan seseorang yang bahkan mendinginkan perasaanku dan membiarkannya terlantar begitu saja. Tapi dengan sisa kesadaran yang semakin menipis, aku tetap membisikkan cerita-cerita tentang kamu, pada Tuhan.
Terlalu banyak wanita disekitarnya dan aku sudah mulai lelah berjuang. Aku lelah dan jengah melihat wanita-wanita disekitarnya. Aku benci mengetahui aku dan dia yang tidak bersama. Aku berharap dia pergi, menghilang, dan juga tidak menyisakan sedikitpun goresan di kepingan-kepingan perasaan ini.

Followers