Jumat, 26 April 2013

Cerita di Pojok Kafe

Aku menikmati musim gugur. Selalu. Musim yang selalu aku tunggu.
Hari ini musim gugur di hari ke 30, hari ke 30 pula pada pukul empat sore aku mengunjungi kafe ini dan terduduk di pojok dengan sofa berwarna hijau tosca dan meja kayu berwarna cokelat gelap. Tak lupa secangkir teh dan lasagna tersaji hangat.
Setiap hari mataku selalu menyapu keseluruhan kafe. Aku memang duduk sendiri, bukan karena statusku. Melainkan aku menikmati kesendirianku. Jangan tanya tentang crush, aku tak punya. Aku sedikit laergi dengan makhluk yang bernama cowok. Jangan pernah berpikir aku lesbian. Agamaku melarang keras.

Pelayan di sini sudah sangat hafal dengan pesananku. Bahkan ketika aku datang, aku hanya tersenyum sedikit dan mengacungkan telunjukku, sepuluh menit kemudian hidangan yang aku inginkan sudah tersedia di depan mejaku. Aku hampir hafal wajah-wajah pelanggan toko ini dan di mana tempat duduk mereka. Contohnya pemuda dengan rahang dan dagu tegas yang duduk di depanku. Sorot matanya tajam, dan mempunyai lesung di kedua pipinya. Hampir setiap hari ia berganti-ganti pasangan. Pasangan duduk, pasangan kencan. Hampir setiap dua hari sekali pula ia memutuskan hubungannya.

Serong ke kanan, tiga hari sekali kau akan selalu mendapatkan segerombolan remaja berseragam putih abu-abu yang selalu menggosipkan cinta, guru, dan cerita remaja lainnya. Rupanya mereka anak baik-baik. Sesekali aku mendengar salah satu dari mereka mengkritik habis-habisan tentang budaya menyontek yang sangat populer di kalangan remaja. Katanya, jika kecilnya saja sudah menyontek, besarnya mau jadi apa? Koruptor? Katanya juga, jika kita menyontek di masa kini dan akan membawa pengaruh pada pencarian pekerjaan kita kelak, dan kita mendapatkan posisi bagus karena nilai hasil menyontek kita, kita akan memakan uang haram. Aku juga ingat salah satu dari mereka pernah berkata, ia tak mengerti dengan siswa yang berbicara bahwa untuk apa pemerintah melarang siswa menyontek sementara mereka sibuk korupsi, Siswa itu menanggapi dengan sebuah kalimat bijak "Kalau begitu siswanya pengen jadi koruptor juga dong? Kalau bukan kita siapa lagi?". Simple, and smart.

Setiap hari kau akan melihat seorang wanita yang selalu dibukakan pintu mobil oleh kekasihnya, dan ditarikkan bangku oleh kekasihnya. Emansipasi, bullshit. If you said itu adalah how to treat girl right, you're deadly wrong. Be a gentlemen is to protect, bukan memanjakan, membentak. Sepasang kekasih itu akan memesan duduk di dekat jendela dengan kusen bundar. Sang lelaki memesan kentang goreng dengan porsi besar dan secangkir kopi, sementara sang wanita memesan teh hangat beraroma melati saja. Tipe wanita yang sangat ingin menjaga bentuk tubuh. That's suck.

Setiap hari Sabtu pukul lima sore, sang pelayan berambut panjang akan dijemput oleh kekasihnya. Melambaikan tangan pada temannya yang berambut midi. Sang teman membalas lambaiannya dengan senyum getir, rupanya sang teman juga mencintai kekasih si rambut panjang. Terlihat jelas dari sorot matanya. It won't lie.

Di samping mejaku, setiap seminggu sekali akan ada segerombol remaja wanita yang lagi-lagi talking about bullshit called romance. Like seriously, why don't they just talking about something more classy? Like politics? They will looks hotter, and sexier. That's what my type of man, said. Yang kudengar secara sering adalah salah satu dari mereka yang bernama Elle, dijodohkan teman-temannya dengan seseorang bernama Adam. Salah satu dari mereka yang gemar mengurai rmabut hitam panjangnya nampak jelas cemburu. Selalu mengalihkan pembicaraan. Ingin rasanya aku mendatangi si wanita cemburu itu dan berbisik "well. you're too pretty to be jealous" because I know how that's feels.

Jam enam, aku beranjak pulang. Menutup sebuah lembaran, kisah kafe sore ini.

Followers