Hai, sudah larut
malam. Kamu sudah tidur?
Aku belum.
Aku masih
berbaring menatap langit-langit kamarku yang berwarna putih pucat dan terkena
semburan warna kuning lampu tidurku.
Jika kamu
bertanya mengapa, aku dengan senang hati menceritakan bahwa aku sedang merapal
berbagai doa, dalam hati.
Doa tentang
malaikat-malaikat di sekitarku, ayah dan ibuku, doa untuk kawan-kawanku, tak
lupa doa untuk kita, aku-dan-kamu-perasaanku-perasaanmu.
Merapal doa
untuk masa depan kita, untuk mempersatukan perasaan kita.
Aku juga
berbisik pada Tuhan, seandainya waktu bisa diulang, aku tidak mau dipertemukan
denganmu. Tidak pernah berharap. Tapi aku tahu, Tuhan yang memilihku-kamu-dan
perasaanku.
Hai, angin
bertiup semakin keras saja. Cukup untuk membuat gigi-gigiku mengeletuk pelan di
balik jaket dan selimut tebalku. Aku berharap, semoga kamu sudah berselimut
dengan nyaman sehingga dingin tidak mengusik tubuhmu dan tidurmu, aamiin.
Jangan seperti
aku, aku belum.
Dingin masih
menguasai tubuhku, juga bongkahan-bongkahan perasaanku. Menunggumu untuk
mencairkannya dengan perhatian-perhatian dan keisengan kecilmu, dulu.
Aku memejamkan
mata, kembali merapal doa, berharap segera menemukan seseorang yang akan
menghangatkan, mencairkan perasaanku. Bukan malah membiarkannya membeku, perih,
seperti apa yang kamu lakukan saat ini (setelah pernah mencairkannya,
tentunya).
Kadang aku tidak
mengerti, mengapa langit harus biru, kuku tetap tumbuh. Setidaknya aku
mengerti, jika perasaan terus dibiarkan membeku, semuanya hambar membiru, lalu berubah
menjadi abu-abu.
Hai, peri-peri
bersayap putih dengan tongkat emas dan bentuk bulan diujungnya sudah mulai
sibuk mengirimkan mimpi-mimpi indah bagi manusia-manusia yang berbuat kebaikan
hari ini. Aku yakin kamu sudah menerimanya dengan perbuatan baikmu hari ini,
membuatku salah tingkah dengan ketidak-sengajaan saat mata kita beradu, dan
perbuatan baikmu saat membuatnya
tersenyum. Walau aku tidak tersenyum, setidaknya membuat dia tersenyum(walau
aku tidak menyukai hal ini) tetap saja sebuah kebaikan, bukan?
Aku? Terlelap
saha dewa pemimpin orkestra tembang pengantar tidur belum memulai orkestranya.
Menunggu aku berhubungan dengan Tuhan dengan sabar, tidak ingin menggangguku
merapal banyak doa.
Doa untuk
kebaikan keluargaku, teman-temanku, kebaikanku dan kebaikanmu. Tapi tidak
munafik, aku juga merapal doa di hati kecilku, untuk
menyatukanku-dengan-mu;kita.
Tidak mudah,
memberhentikan semua doa yang terus melayang. Khayalan yang terus terlukiskan
tentang kita yang (mungkin) akan menyatu di suatu saat nanti (aamiin).
Tidak mudah,
melawan perasaan sendiri yang sejatinya tumbuh liar di dalam hati. Sama saja
membunuh diri sendiri dengan gaya lemah lembut bak putri keraton Jawa.
Hai, aku sudah
mulai menguap berkali-kali, dengan mata yang berkaca-kaca sedikit demi sedikit
terpejam. Nampaknya dewa pemimpin orkestra tembang pengantar tidur mulai
kehilangan kesabarannya menungguku yang sedang mendoakan seseorang yang bahkan
mendinginkan perasaanku dan membiarkannya terlantar begitu saja. Tapi dengan
sisa kesadaran yang semakin menipis, aku tetap membisikkan cerita-cerita
tentang kamu, pada Tuhan.
Terlalu banyak
wanita disekitarnya dan aku sudah mulai lelah berjuang. Aku lelah dan jengah
melihat wanita-wanita disekitarnya. Aku benci mengetahui aku dan dia yang tidak
bersama. Aku berharap dia pergi, menghilang, dan juga tidak menyisakan
sedikitpun goresan di kepingan-kepingan perasaan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar