“Aku
mencintainya”
“Aku
juga”
“Cintaku
sangat besar”
“Cintaku
juga!”
“Kita
berdua sama-sama mencintai pria yang sama dengan kadar cinta yang tidak bisa
dibilang remeh”
“Aku
iya, semoga kamu juga begitu”
“Jangan
remehkan aku”, kemudian wanita pertama membetulkan letak kacamata semi kotaknya
yang berwarna cokelat tua. Menghembuskan nafasnya pelan, tapi panjang. Kembali menyandarkan
tubuhnya pada sofa merah maroon yang sangat menggoda untuk diduduki.
“Tidak.
Aku tidak pernah meremehkan lawanku, sebagaimanapun lawanku” jawab wanita kedua
kemudian mengaduk cokelat panasnya yang tak lagi panas. Menatap rerintikan
hujan di luar cafe yang berlokasi strategis namun nyaman itu.
“Kita
lawan? Kukira kita sahabat?”, dahi wanita pertama mengerut.
“Setidaknya
lawan dalam memperjuangkan cinta, di luar itu kita sahabat”
“Tapi
bukankah itu berarti, jika salah satu dari kita menang, salah satu dari kita
juga akan terluka? Sahabat tidak akan saling melukai, bukan?” tanya wanita
pertama dengan nada khawatir.
"Kita
sudah dewasa, harus membuka pikiran kita seluas mungkin. Sedalam apapun,
sebesar apapun cinta kita pada pria itu, kita juga harus siap kehilangan”
“Kamu
benar. Tapi menurutku cintaku lebih besar terhadapnya, aku jatuh cinta padanya
lebih dulu daripada kamu”
“Cinta
tidak memandang cinta siapa yang lebih besar atau siapa yang mencintai lebih
dulu, yang aku tahu cinta memihak pada yang berjuang, pada yang menyatakan”,
kata wnaita kedua sambil mengetuk-ngetuk meja di depannya dengan jemari lentiknya.
“Tapi
aku sudah menceritakan perasaanku pada banyak orang, kamu belum”
“Perasaan
sayang tidak harus disebar-sebarkan ke banyak orang, apalagi dipamer-pamerkan. Cukup
direalisasikan secukupnya”
“Kamu
benar” wanita pertama itu melunak, mengakui.
“Semoga”
“Kamu
mau berjuang?”
“Tentu.
Ayo pulang, sudah larut malam”
“Ayo”
Dan
kedua wanita itu berjalan berdampingan menuju pintu keluar. Dengan hati yang
sama-sama berusaha memperjuangkan lelaki yang sama, dan persahabatan yang harus
tetap terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar