Senin, 14 Januari 2013

Hai, Kamu.


Hai, sudah larut malam. Kamu sudah tidur?
Aku belum.
Aku masih berbaring menatap langit-langit kamarku yang berwarna putih pucat dan terkena semburan warna kuning lampu tidurku.
Jika kamu bertanya mengapa, aku dengan senang hati menceritakan bahwa aku sedang merapal berbagai doa, dalam hati.
Doa tentang malaikat-malaikat di sekitarku, ayah dan ibuku, doa untuk kawan-kawanku, tak lupa doa untuk kita, aku-dan-kamu-perasaanku-perasaanmu.
Merapal doa untuk masa depan kita, untuk mempersatukan perasaan kita.
Aku juga berbisik pada Tuhan, seandainya waktu bisa diulang, aku tidak mau dipertemukan denganmu. Tidak pernah berharap. Tapi aku tahu, Tuhan yang memilihku-kamu-dan perasaanku.

Hai, angin bertiup semakin keras saja. Cukup untuk membuat gigi-gigiku mengeletuk pelan di balik jaket dan selimut tebalku. Aku berharap, semoga kamu sudah berselimut dengan nyaman sehingga dingin tidak mengusik tubuhmu dan tidurmu, aamiin.
Jangan seperti aku, aku belum.
Dingin masih menguasai tubuhku, juga bongkahan-bongkahan perasaanku. Menunggumu untuk mencairkannya dengan perhatian-perhatian dan keisengan kecilmu, dulu.
Aku memejamkan mata, kembali merapal doa, berharap segera menemukan seseorang yang akan menghangatkan, mencairkan perasaanku. Bukan malah membiarkannya membeku, perih, seperti apa yang kamu lakukan saat ini (setelah pernah mencairkannya, tentunya).
Kadang aku tidak mengerti, mengapa langit harus biru, kuku tetap tumbuh. Setidaknya aku mengerti, jika perasaan terus dibiarkan membeku, semuanya hambar membiru, lalu berubah menjadi abu-abu.

Hai, peri-peri bersayap putih dengan tongkat emas dan bentuk bulan diujungnya sudah mulai sibuk mengirimkan mimpi-mimpi indah bagi manusia-manusia yang berbuat kebaikan hari ini. Aku yakin kamu sudah menerimanya dengan perbuatan baikmu hari ini, membuatku salah tingkah dengan ketidak-sengajaan saat mata kita beradu, dan perbuatan baikmu saat membuatnya tersenyum. Walau aku tidak tersenyum, setidaknya membuat dia tersenyum(walau aku tidak menyukai hal ini) tetap saja sebuah kebaikan, bukan?
Aku? Terlelap saha dewa pemimpin orkestra tembang pengantar tidur belum memulai orkestranya. Menunggu aku berhubungan dengan Tuhan dengan sabar, tidak ingin menggangguku merapal banyak doa.
Doa untuk kebaikan keluargaku, teman-temanku, kebaikanku dan kebaikanmu. Tapi tidak munafik, aku juga merapal doa di hati kecilku, untuk menyatukanku-dengan-mu;kita.
Tidak mudah, memberhentikan semua doa yang terus melayang. Khayalan yang terus terlukiskan tentang kita yang (mungkin) akan menyatu di suatu saat nanti (aamiin).
Tidak mudah, melawan perasaan sendiri yang sejatinya tumbuh liar di dalam hati. Sama saja membunuh diri sendiri dengan gaya lemah lembut bak putri keraton Jawa.
Hai, aku sudah mulai menguap berkali-kali, dengan mata yang berkaca-kaca sedikit demi sedikit terpejam. Nampaknya dewa pemimpin orkestra tembang pengantar tidur mulai kehilangan kesabarannya menungguku yang sedang mendoakan seseorang yang bahkan mendinginkan perasaanku dan membiarkannya terlantar begitu saja. Tapi dengan sisa kesadaran yang semakin menipis, aku tetap membisikkan cerita-cerita tentang kamu, pada Tuhan.
Terlalu banyak wanita disekitarnya dan aku sudah mulai lelah berjuang. Aku lelah dan jengah melihat wanita-wanita disekitarnya. Aku benci mengetahui aku dan dia yang tidak bersama. Aku berharap dia pergi, menghilang, dan juga tidak menyisakan sedikitpun goresan di kepingan-kepingan perasaan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers